Sulawesi Barat dan Mimpi Besar Menghapus Stunting
- account_circle tentangsehatcom
- calendar_month Sen, 13 Okt 2025
- visibility 37
- comment 0 komentar

Penulis: dr. Faisal Lukman Bawanong (Mahasiswa program doktoral FKM UNHAS)
Sulawesi Barat saat ini masih menghadapi tantangan besar dalam hal gizi anak. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023, prevalensi stunting di provinsi ini masih berkisar 35 persen, tertinggi kedua secara nasional. Angka tersebut jauh di atas ambang batas yang direkomendasikan WHO, yaitu di bawah 20 persen. Stunting bukan sekadar persoalan fisik anak yang pendek, tetapi mencerminkan gangguan tumbuh kembang yang memengaruhi kecerdasan, produktivitas, dan kualitas hidup di masa depan.
Sebagai dokter, saya menyadari bagaimana masalah gizi buruk dan anemia pada ibu hamil menjadi mata rantai awal dari lahirnya generasi yang berisiko stunting. Karena itu, ketika pemerintah menggulirkan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bagi ibu hamil, balita, dan pelajar, langkah ini patut diapresiasi. Program ini merupakan upaya konkret untuk memutus siklus kekurangan gizi yang telah lama menghantui masyarakat di daerah-daerah dengan kerentanan pangan tinggi, termasuk Sulawesi Barat.
SDGs dan Komitmen Menurunkan Stunting
Upaya menurunkan stunting sejalan dengan tujuan global Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 2: Zero Hunger dan SDG 3: Good Health and Well-being. Target SDGs mengamanatkan dunia untuk mengakhiri kelaparan, memastikan akses terhadap makanan bergizi bagi semua, serta menurunkan kematian ibu dan anak.
Program MBG, jika dijalankan secara berkelanjutan, dapat menjadi motor penting untuk mencapai dua tujuan besar tersebut. Makanan bergizi bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga mengandung unsur yang memperkuat daya tahan tubuh, mendukung perkembangan otak, dan meningkatkan kemampuan belajar anak. Dengan demikian, keberhasilan program ini akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Realisasi Program di Lapangan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial telah mulai melaksanakan program makanan bergizi gratis pada 2024–2025. Laporan terakhir menunjukkan bahwa sekitar 85 persen sasaran telah menerima manfaat program ini, termasuk ibu hamil, anak sekolah dasar, dan balita. Realisasi ini mencerminkan komitmen nyata pemerintah daerah dalam mempercepat penurunan stunting yang selama ini menjadi prioritas nasional.
Distribusi makanan dilakukan melalui sekolah dan posyandu, dengan melibatkan penyedia lokal agar bahan makanan tetap segar dan sesuai preferensi masyarakat. Pendekatan ini juga memberdayakan ekonomi lokal—petani, nelayan, dan pelaku UMKM pangan—sehingga manfaat program meluas ke berbagai sektor pembangunan.
Kebutuhan Gizi Sehari-hari Anak
Keberhasilan program makan bergizi sangat bergantung pada kesesuaian menu dengan kebutuhan nutrisi anak. Secara umum, anak usia 1–3 tahun memerlukan sekitar 900–1.000 kalori per hari dengan asupan protein 13–19 gram. Anak usia 4–6 tahun membutuhkan 1.200–1.600 kalori dengan tambahan zat besi, kalsium, vitamin A, D, dan zinc untuk menunjang pertumbuhan tulang dan daya tahan tubuh.
Bagi ibu hamil, kebutuhan energinya meningkat sekitar 300 kalori per hari, serta tambahan protein 20 gram dan zat besi minimal 30–60 mg per hari. Pemberian makanan bergizi yang mengandung sumber karbohidrat kompleks, lauk hewani, sayur, buah, dan lemak sehat akan membantu mencegah anemia dan memperbaiki status gizi janin sejak dalam kandungan.
Program MBG yang menyesuaikan porsi dan komposisi makanan sesuai pedoman nasional akan memberikan efek optimal pada tumbuh kembang anak dan kesehatan ibu.
Tantangan di Lapangan
Meski hasil awal cukup menggembirakan, beberapa tantangan penting tetap perlu diantisipasi agar program ini berjalan efektif dan berkelanjutan:
1. Kualitas dan keamanan pangan
Distribusi massal berisiko menurunkan mutu jika pengawasan kurang. Diperlukan penguatan standar mutu, pelatihan pengolah makanan, serta inspeksi rutin oleh petugas gizi di lapangan.
2. Rantai pasok bahan pangan lokal
Banyak bahan bergizi bergantung musim, sehingga menu bisa berubah. Solusinya adalah menjalin kemitraan dengan kelompok tani, mengembangkan gudang pangan desa, dan menyesuaikan menu musiman tanpa mengurangi kandungan gizi.
3. Keberlanjutan anggaran
Program sebesar ini memerlukan dukungan dana yang konsisten. Pendanaan bisa diperluas melalui kolaborasi pemerintah daerah, dana pusat, dan partisipasi sektor swasta (CSR).
4. Perilaku pemberian makan keluarga
Makanan bergizi tidak cukup jika pola makan di rumah masih keliru. Karena itu, edukasi gizi melalui posyandu, sekolah, dan media lokal harus berjalan seiring dengan distribusi makanan.
Harapan ke Depan
Saya percaya, program Makanan Bergizi Gratis bukan sekadar intervensi sosial, melainkan investasi kesehatan jangka panjang. Bila dilaksanakan secara konsisten dan transparan, program ini dapat menurunkan prevalensi stunting di Sulawesi Barat secara signifikan dalam lima tahun ke depan.
Namun, kunci keberhasilan tidak hanya terletak pada penyediaan makanan, tetapi juga pada edukasi, pemantauan pertumbuhan anak, serta sinergi lintas sektor: kesehatan, pendidikan, pertanian, dan sosial.
Sebagai dokter, saya melihat momentum ini sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki status gizi ibu dan anak secara menyeluruh. Gizi baik hari ini adalah fondasi kecerdasan dan daya saing bangsa di masa depan.
Mari jadikan Sulawesi Barat sebagai contoh bagaimana kolaborasi pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat dapat mewujudkan komitmen SDGs — agar tidak ada lagi anak yang gagal tumbuh hanya karena tidak cukup makan bergizi.
Program makanan bergizi gratis bukanlah sekadar kebijakan populis, melainkan bentuk nyata kepedulian negara terhadap masa depan warganya. Dengan tekad, disiplin pelaksanaan, dan dukungan masyarakat, kita bisa membalikkan angka stunting menjadi kisah sukses pembangunan manusia Indonesia.

Penulis: dr. Faisal Lukman Bawanong
Mahasiswa program doktoral FKM UNHAS
- Penulis: tentangsehatcom

Saat ini belum ada komentar